Rabu, 20 September 2017

Aku Beraksi, Maka Aku Ada (Pengalaman Mengikuti IYEF Camp 2017)

Aku Beraksi, Maka Aku Ada
(Pengalaman Mengikuti IYEF Camp 2017)
Oleh: Sarlita Hidayati

Tidak jarang aku mendengar istilah “NATO” di kalangan rekan-rekan sepermainanku. Pernah kawanku menceritakan kepadaku mengenai seseorang yang ia anggap NATO tersebut. NATO, akronim dari No Action Talk Only. Dari situ aku berpikir, apa jangan-jangan aku pun seperti itu? Aku banyak omong, namun aksiku tampak nol. Entahlah, semenjak itu, aku berusaha untuk mencoba menjadi manusia yang lebih banyak aksi ketimbang kata yang tak begitu berguna.
Pertengahan Juli 2017, aku mendapat informasi, akan diadakan sebuah kegiatan yang aku rasa dapat membantu mengilhamiku untuk istiqomah dalam beraksi. Harapku, semoga ada kesempatan untukku mengikutinya. Tuhan Maha Baik, harapku terkabul. Sah lah aku menjadi peserta Indonesian Youth Education Forum (IYEF) 2017. Kegiatan kepemudaan seperti ini bukanlah yang pertama bagiku, namun IYEF ini adalah kegiatan yang luar biasa mengejutkanku. Jauh dari kemewahan, jauh dari kenyamanan, namun begitu dekat dengan penghidupan.
Tiga hari dua malam yang merubah banyak pola pikirku, yang dampaknya ke pola lakuku. Di hari pertama aku sudah dikejutkan dengan adanya Sangkuriang Challenge. Betapa tidak, sekolah yang belum pernah sama sekali aku jumpai sebelumnya harus dapat ter-make over hanya dalam semalam. Untung saja tantangan ini adalah tantangan kelompok yang beranggotakan cukup banyak peserta. Tibalah kami di sekolah tersebut, MI Al-Ijtihad namanya, yang sampai sekarang aku sedang menulis ini pun, masih saja aku terngiang namanya. Aku harus memuji, Tuhan Maha Baik, aku dipertemukan dengan kawan-kawan yang begitu bersemangat dalam menunjukkan aksinya. Kawan-kawan yang rela disita waktunya, tenaganya, pun pikirannya untuk menjalankan misi kemaslahatan ini. Kawan yang belum pernah aku kenal sebelumnya, namun dalam semalam itu aku merasa mengenalnya lebih. Kawan yang mengilhamiku bahwa aku harus istiqomah dalam segala aksi kemaslahatanku.

Baiklah, beralih kembali kepada Sangkuriang Challenge yang kami sedang jalani. Tibalah kami dalam diskusi, dan atas kuasa-Nya, aku dan kedua temanku ditugaskan untuk dapat me-make over ruang kelas V dan mempersiapkan pembelajaran selama 1 jam untuk di keesokan paginya, pun di kelas tersebut.
Sekitar pukul sembilan malam, kelas nampak begitu gelap dan hening. Kami bertiga mencoba memecah keheningan itu, dan kegelapan yang memang benar ada tidak menyurutkan semangat kami dalam memperbaiki hiasan-hiasan sederhana di dinding kelas. Latihan untuk presentasi di pagi esok pun kami lakukan pada malam itu juga, di ruang gelap nan hening itu.

Pagi tiba, siswa-siswi berdatangan, pun penghuni ruangan yang semalam kami ‘tempati’ akhirnya masuk ke dalam ruangan. Mencoba akrab dengan mereka nyatanya bukanlah hal yang sulit. Yang sulit ialah ketika mereka sudah menganggap kita ada di bagian hidupnya, dan lagi, akan meninggalkannya. Di akhir, terngiang sekali di telingaku, yang hampir melelehkan mataku, “Kakak besok kesini lagi kan?”. Bagiku, ada dan tiadanya aku di sisi mereka, doaku kan selalu tercurah untuk mereka. Sangkuriang Challenge berhasil membuat diriku merasa bersalah. Meski kalimat tanya itu selalu terngiang, bukankah jawaban terbaik adalah yang dibutuhkan? Bukan yang diharapkan.
Satu dari banyak kegiatan saja sudah dapat mengobrak-abrik pola pikirku. Tak sabar rasanya untuk menjalani kegiatan lain dari rangkaian acara IYEF ini. Cultural Night, inilah saatnya. Jawa Barat 1, itulah timku. Lagi, aku harus memuji, Tuhan Maha Sempurna, aku dikelompokkan dengan sekawanan pemuda yang bagiku mereka begitu cocok denganku. Tingkah kekonyolannya, ke-kisruh-annya, juga kekeluargaannya, yang membuatku tak merasa bahwa mereka adalah orang baru di hidupku. Drama Legenda Situ Bagendit berhasil kami tampilkan, menyoal kami bukan penampil terbaik, bagiku itu bonus, yang utama adalah menambah orang-orang seperti mereka ke dalam anggota keluarga.

The last day, Bogor in Education. Ketika pikiran diajaknya untuk selalu berpikir, di situlah akan terasah pola dan cara pikir seseorang. Kegiatan yang terbungkus dengan apik, disajikan begitu menarik, dan sangat mendidik. Lagi, aku harus memuji, Tuhan Maha Asyik. Setelah melalui pemecahan tantangan, terbentuklah suatu kelompok baru yang dimana aku ada di dalamnya. Buya Hamka nama kelompoknya. Kelompok yang beranggotakan orang-orang yang begitu energik, semangat dalam beraksi. Begitu mengilhamiku dalam ke-istiqomah-an untuk terus beraksi. Segala teka-teki yang harus kami pecahkan, segala perjalanan yang membuat kami semakin peduli akan perasaan. Segala tempat yang membuat kami semakin yakin, bahwa bumi itu luas, dan di setiap titiknya, selalu ada pelajaran. Bogor sisi lain, Bogor kota kelahiranku, juga kota yang akan membekas di hati teman-teman IYEF-ku.

Museum PETA adalah tempat perpisahan aku dengan keluarga baruku. Diawali dengan pengenalan sejarah, yang membuat kami semakin cinta tanah air. Semakin ta’dzim dengan para pahlawan yang telah memerdekakan. Berlanjut kepada latihan ala-ala militer, yang membuat kami sadar bahwa hidup bukan hanya untuk berleha-leha, namun lebih dari sekedar itu. Perjuangan untuk mendapat penghidupan yang layak. Memanusiakan manusia, menghidupkan yang hidup. Games yang membuat kami berpikir, bahwa hidup tak hanya menyoal diri sendiri, melainkan membutuhkan dan dibutuhkan sesama. Games yang membuat kami tersadar, hidup tak harus di bawa tegang, kata ‘menikmati’ dirasa perlu.


Tiga hari dua malam yang telah menyita bagian dari pikiranku untuk selalu menyimpannya. Tiga hari dua malam yang membuka mata hati bahwa hidup bukan menyoal diri sendiri. Tiga hari dua malam yang banyak mengilhami ke-istiqomah-an untuk selalu beraksi demi kemaslahatan. Tiga hari dua malam yang membuatku berpikiran bahwa aku akan ada, jika aku beraksi. Wherever I am, I must useful for another people.

Sabtu, 12 Agustus 2017

PEMUDA, PENDIDIKAN DAN KARAKTER

“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Begitulah kira-kira kutipan dari Presiden RI pertama kita. Tak bisa dipungkiri memang, bahwa masa depan negara adalah berada di tangan anak muda sekarang. Karakter pemuda akan menjadi karakter bangsa. Dari situ kita tahu, bahwa hal yang harus dibenahi sekarang ini adalah membentuk karaktek pemuda dengan baik, yang dapat membawa bangsa juga ke arah yang baik. Karakter yang terbentuk di dalam diri seseorang tak lepas dari pola pikir orang itu sendiri. Untuk membentuk karakter yang baik, juga harus membentuk pola pikir yang baik terlebih dahulu. Dengan sudah terbentuknya pola pikir yang baik tersebut, karakter akan tumbuh baik mengikutinya. Pola pikir dapat dibentuk atas dasar pengaruh dari lingkungan, lingkungan yang baik akan membawa dampak positif bagi pola pikir seseorang. Salah satu lingkungan yang baik, yang dapat membawa pengaruh baik dan membentuk pola pikir yang baik bagi seseorang adalah lingkungan sekolah/lembaga pendidikan.
Di sinilah pentingnya pendidikan itu sendiri, bukan hanya sebatas ilmu-ilmu sains seperti ilmu fisika atau biologi, namun lebih dari itu, ilmu-ilmu kehidupanlah yang dapat membentuk pola pikir dan akhirnya mebentuk karakter seseorang itu sendiri. Masalahnya sekarang adalah kualitas pendidkan Indonesia ini sendiri yang masih belum optimal. Dalam laporan yang dari OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tentang PISA (Programme for International Student Assessment) yang mereka selenggarakan untuk mengukur mutu, ekuitas, dan efisiensi pendidikan di sekolah, Indonesia bahkan menempati ranking 64 dari 65 negara atau kedua dari bawah di atas Peru. Laporan tersebut sebagai penanda umum dari mutu pembelajaran lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya sekolah, menunjukkan bahwa praktik pembelajaran di sekolah-sekolah kita belum mampu menghadirkan generasi terdidik yang memilki modalitas literasi yang cukup untuk bersaing di era global. Ini menjadi PR bukan hanya untuk pemerintah, namun juga kita sebagai rakyatnya. Mari bersama membangun karakter bangsa dengan mengoptimalisasian mutu pendidikan melalui pemuda.

Rumah Hijau; Upaya Mengurangi Emisi Guna Menekan Kenaikan Suhu Bumi

Rumah Hijau; Upaya Mengurangi Emisi Guna Menekan Kenaikan Suhu Bumi
Oleh: Sarlita Hidayati

Salah satu upaya untuk dapat mengurangi emisi guna menekan kenaikan suhu bumi ialah dengan menggalakkan program rumah hijau. Ialah pendapat dari Dr. Agus Supangat (2016), Mantan Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), mengatakan tanpa upaya serius mengurangi emisi gas rumah kaca, suhu global akan cenderung meningkat lebih dari 2 derajat celcius pada abad berikutnya, bahkan bisa meningkat sampai 5 derajat celcius. Resiko terjadinya beberapa kejadian ekstrem, terutama gelombang panas dan hujan deras, diperkirakan akan meningkat lebih lanjut dalam beberapa dekade mendatang. Tinggi permukaan laut global diperkirakan akan meningkat hingga 0,26 – 0,81 meter pada akhir abad ini dan akan terus meningkat pada abad-abad mendatang. Menahan kenaikan suhu di bawah batas 2 derajat celcius adalah mungkin tapi sulit dilakukan dan perlu berbagai perubahan, termasuk perubahan penggunaan teknologi, institusi dan perilaku.
Upaya mengurangi emisi perlu dilakukan di semua sektor (misalnya energi, transportasi, pertanian, hutan) dan seluruh wilayah. Pengurangan penggunaan energi bisa dilakukan melalui beberapa cara, seperti efisiensi energi yang memainkan peran besar terhadap penurunan emisi. Banyak negara telah memiliki kebijakan mengurangi emisi, tapi jauh lebih perlu untuk menerapkan kebijakan tersebut. Investasi dalam teknologi bersih perlu skala kebijakan besar-besaran dan mitigasi perlu diintegrasikan ke dalam pertimbangan politik yang lebih luas, seperti pembangunan, lapangan kerja dan lingkungan. Menangani perubahan iklim membutuhkan tindakan internasional, ini adalah masalah ‘besar’ dan membutuhkan kerjasama internasional untuk mengatasinya.
Sangat menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kita setelah mengetahui itu semua, langkah awal yang sederhana yang selalu ‘dikoar-koarkan’ kepada kita sebagai masyarakat awam tampaknya tak bisa hanya dijadikan ‘koaran’ yang tanpa dilaksanakan. Hal-hal mudah yang dapat kita lakukan antara lain: perbaikan sektor kehutanan; dengan reboisasi, menghindari penebangan hutan secara liar. Dalam sektor pemanfaatan bahan bakar fosil; kita harus mampu menghemat bahan bakar, menghemat penggunaan lampu, mengganti lampu dengan lampu hemat energi, atau bahkan mengupayakan pengadaan dan pengembangan energi alternatif yang ramah lingkungan. Bahkan hal kecil lainnya adalah, perlakuan kita terhadap sampah. Bagaimanapun, mendaur ulang sampah akan lebih baik daripada membakarnya. Membakar sampah sama artinya dengan memindahkan sampah tersebut ke udara. Sampah Plastik merupakan bahan yang sulit untuk diuraikan, dan kalau dibakar, plastik akan menjadi zat beracun atau polusi. Maka sebagai solusi sederhana, kurangi pemakaian kantong plastik. Saat belanja, bisa dicoba dengan menggunakan tas karton atau tas kanvas. Setidaknya langkah tersebut bisa sedikit banyak membantu tantangan dunia yang besar itu.
Selanjutnya penulis akan memaparkan mengenai langkah yang cukup besar selanjutnya, ialah dengan mengusung ‘Rumah Hijau’. Seperti yang dilansir dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Aidya Firdauzha Maerast (2016), industri konstruksi di Indonesia memiliki berbagai dampak positif terhadap kemajuan bangsa ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2014 kemarin tercatat sebesar 5,02 persen. Sektor konstruksi merupakan salah satu penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi tersebut, dengan presentase 9,88 persen. Pembangunan rumah, hotel, jembatan, jalan dan pelabuhan menjadi alasan pertumbuhan di sektor konstruksi ini. (liputan 6, 2015).
Sektor konstruksi tidak bisa dipungkiri memiliki peran strategis pada pembangunan. Peran strategis tersebut antara lain pada penyerapan tenaga kerja, jangkauan rantai pasok yang luas, pendorong sektor-sektor pendukungnya, bahkan mobilisator pertumbuhan produk nasional baik barang maupun jasa. (BPS, 2015). Namun dampak negatif yang dihasilkan oleh sektor ini tidaklah sedikit. Salah satunya adalah dampak terhadap pemanasan global.
Tidak hanya pada proses produksi dan pemakaian material konstruksi yang menyumbangkan emisi karbon dioksida, namun penggunaan fasilitas infrastruktur dan bangunan khususnya hunian dan bangunan komersial bisa menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang besar. Misalnya saja dalam penggunaan listrik untuk menghangatkan dan mendinginkan ruangan, pencahayaan, penggunaan alat-alat rumah tangga, maka sumbangan sektor hunian dan bangunan bisa mencapai 30 persen.  Belum lagi limbah konstruksi yang dihasilkan dari proses konstruksi dan proses pembongkaran bangunan seperti tulangan, batu bata, kayu perancah, dll. Limbah yang disebutkan diatas tentunya berpengaruh secara signifikan terhadap lingkungan, menurut Hendrickson dan Horvath pada tahun 2000.
Selama ini dalam perancangan rumah, kita masih mengedepankan pendekatan konvensional seperti aspek ekonomi dan aspek teknis. Sementara itu isu lingkungan yang seharusnya juga dipertimbangkan sebagai fenomena global belum disentuh. Dengan jumlah rumah di Indonesia yang mencapai 45 juta unit menurut data Real Estate Indonesia (REI), maka emisi yang dihasilkan dari perumahan sangatlah besar. Konsep bangunan ramah lingkungan dapat menjadi salah satu solusi dalam penyumbangan emisi CO2 dari sektor ini . Bangunan ramah lingkungan   berarti “Bangunan yang menggunakan energi, air, dan sumber daya lain secara efisien; melindungi kesehatan penghuni dan meningkatkan produktivitas karyawan; serta mengurangi limbah, polusi, dan degradasi lingkungan.” (GBCI)
Tentu kita harus mengetahui berapa jumlah sumbangan emisi yang di berikan bangunan, berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh United Nations Environment Programme diperkirakan bahwa saat ini, bangunan berkontribusi sebanyak sepertiga dari total emisi gas rumah kaca global, terutama melalui penggunaan bahan bakar fosil selama fase operasional mereka.  Sektor bangunan memberikan kontribusi hingga 30 persen dari emisi gas rumah kaca global tahunan dan mengkonsumsi hingga 40 persen dari seluruh energi.  
Jumlah diatas merupakan jumlah yang besar, dan jika terus dibiarkan emisi yang dihasilkan bangunan dari sektor konstruksi akan terus bertambah, mengingat sedang dilaksanakan pembangunan infrastruktur di Indonesia secara besar-besaran. Maka dari itu bangunan hijau atau bangunan ramah lingkungan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor konstruksi.