Aku
Beraksi, Maka Aku Ada
(Pengalaman Mengikuti IYEF Camp 2017)
Oleh: Sarlita Hidayati
Tidak jarang aku
mendengar istilah “NATO” di kalangan rekan-rekan
sepermainanku. Pernah kawanku menceritakan kepadaku mengenai seseorang yang ia
anggap NATO tersebut. NATO, akronim dari No Action Talk Only. Dari situ aku berpikir, apa jangan-jangan aku
pun seperti itu? Aku banyak omong, namun aksiku tampak nol. Entahlah, semenjak
itu, aku berusaha untuk mencoba menjadi manusia yang lebih banyak aksi
ketimbang kata yang tak begitu berguna.
Pertengahan Juli 2017,
aku mendapat informasi, akan diadakan sebuah kegiatan yang aku rasa dapat
membantu mengilhamiku untuk istiqomah dalam
beraksi. Harapku, semoga ada kesempatan untukku mengikutinya. Tuhan Maha Baik,
harapku terkabul. Sah lah aku menjadi peserta Indonesian Youth Education Forum
(IYEF) 2017. Kegiatan kepemudaan seperti ini bukanlah yang pertama bagiku,
namun IYEF ini adalah kegiatan yang luar biasa mengejutkanku. Jauh dari
kemewahan, jauh dari kenyamanan, namun begitu dekat dengan penghidupan.
Tiga hari dua malam
yang merubah banyak pola pikirku, yang dampaknya ke pola lakuku. Di hari
pertama aku sudah dikejutkan dengan adanya Sangkuriang
Challenge. Betapa tidak, sekolah yang belum pernah sama sekali aku jumpai
sebelumnya harus dapat ter-make over
hanya dalam semalam. Untung saja tantangan ini adalah tantangan kelompok yang
beranggotakan cukup banyak peserta. Tibalah kami di sekolah tersebut, MI
Al-Ijtihad namanya, yang sampai sekarang aku sedang menulis ini pun, masih saja
aku terngiang namanya. Aku harus memuji, Tuhan Maha Baik, aku dipertemukan
dengan kawan-kawan yang begitu bersemangat dalam menunjukkan aksinya.
Kawan-kawan yang rela disita waktunya, tenaganya, pun pikirannya untuk
menjalankan misi kemaslahatan ini. Kawan yang belum pernah aku kenal
sebelumnya, namun dalam semalam itu aku merasa mengenalnya lebih. Kawan yang
mengilhamiku bahwa aku harus istiqomah dalam segala aksi kemaslahatanku.
Baiklah, beralih
kembali kepada Sangkuriang Challenge
yang kami sedang jalani. Tibalah kami dalam diskusi, dan atas kuasa-Nya, aku
dan kedua temanku ditugaskan untuk dapat me-make
over ruang kelas V dan mempersiapkan pembelajaran selama 1 jam untuk di
keesokan paginya, pun di kelas tersebut.
Sekitar pukul sembilan
malam, kelas nampak begitu gelap dan hening. Kami bertiga mencoba memecah keheningan
itu, dan kegelapan yang memang benar ada tidak menyurutkan semangat kami dalam
memperbaiki hiasan-hiasan sederhana di dinding kelas. Latihan untuk presentasi
di pagi esok pun kami lakukan pada malam itu juga, di ruang gelap nan hening
itu.
Pagi tiba, siswa-siswi
berdatangan, pun penghuni ruangan yang semalam kami ‘tempati’ akhirnya masuk ke
dalam ruangan. Mencoba akrab dengan mereka nyatanya bukanlah hal yang sulit.
Yang sulit ialah ketika mereka sudah menganggap kita ada di bagian hidupnya,
dan lagi, akan meninggalkannya. Di akhir, terngiang sekali di telingaku, yang
hampir melelehkan mataku, “Kakak besok kesini lagi kan?”. Bagiku, ada dan
tiadanya aku di sisi mereka, doaku kan selalu tercurah untuk mereka. Sangkuriang Challenge berhasil membuat
diriku merasa bersalah. Meski kalimat tanya itu selalu terngiang, bukankah
jawaban terbaik adalah yang dibutuhkan? Bukan yang diharapkan.
Satu dari banyak
kegiatan saja sudah dapat mengobrak-abrik pola pikirku. Tak sabar rasanya untuk
menjalani kegiatan lain dari rangkaian acara IYEF ini. Cultural Night, inilah saatnya. Jawa Barat 1, itulah timku. Lagi,
aku harus memuji, Tuhan Maha Sempurna, aku dikelompokkan dengan sekawanan
pemuda yang bagiku mereka begitu cocok denganku. Tingkah kekonyolannya, ke-kisruh-annya,
juga kekeluargaannya, yang membuatku tak merasa bahwa mereka adalah orang baru
di hidupku. Drama Legenda Situ Bagendit berhasil kami tampilkan, menyoal kami
bukan penampil terbaik, bagiku itu bonus, yang utama adalah menambah
orang-orang seperti mereka ke dalam anggota keluarga.
The
last day, Bogor in Education. Ketika pikiran
diajaknya untuk selalu berpikir, di situlah akan terasah pola dan cara pikir
seseorang. Kegiatan yang terbungkus dengan apik, disajikan begitu menarik, dan
sangat mendidik. Lagi, aku harus memuji, Tuhan Maha Asyik. Setelah melalui
pemecahan tantangan, terbentuklah suatu kelompok baru yang dimana aku ada di
dalamnya. Buya Hamka nama kelompoknya. Kelompok yang beranggotakan orang-orang
yang begitu energik, semangat dalam beraksi. Begitu mengilhamiku dalam ke-istiqomah-an untuk terus beraksi. Segala
teka-teki yang harus kami pecahkan, segala perjalanan yang membuat kami semakin
peduli akan perasaan. Segala tempat yang membuat kami semakin yakin, bahwa bumi
itu luas, dan di setiap titiknya, selalu ada pelajaran. Bogor sisi lain, Bogor
kota kelahiranku, juga kota yang akan membekas di hati teman-teman IYEF-ku.
Museum PETA adalah tempat
perpisahan aku dengan keluarga baruku. Diawali dengan pengenalan sejarah, yang
membuat kami semakin cinta tanah air. Semakin ta’dzim dengan para pahlawan yang telah memerdekakan. Berlanjut
kepada latihan ala-ala militer, yang membuat kami sadar bahwa hidup bukan hanya
untuk berleha-leha, namun lebih dari sekedar itu. Perjuangan untuk mendapat
penghidupan yang layak. Memanusiakan manusia, menghidupkan yang hidup. Games yang membuat kami berpikir, bahwa
hidup tak hanya menyoal diri sendiri, melainkan membutuhkan dan dibutuhkan
sesama. Games yang membuat kami
tersadar, hidup tak harus di bawa tegang, kata ‘menikmati’ dirasa perlu.
Tiga hari dua malam
yang telah menyita bagian dari pikiranku untuk selalu menyimpannya. Tiga hari
dua malam yang membuka mata hati bahwa hidup bukan menyoal diri sendiri. Tiga
hari dua malam yang banyak mengilhami ke-istiqomah-an
untuk selalu beraksi demi kemaslahatan. Tiga hari dua malam yang membuatku
berpikiran bahwa aku akan ada, jika aku beraksi. Wherever I am, I must useful for another people.