Indonesia merupakan sebuah negara yang 80 persennya terdiri
dari lautan, namun tampaknya negara kita ini belum dapat dikenal luas sebagai negeri
bahari. Negeri cocok tanam seakan lebih akrab dengan negara kita sekarang.
Pengoptimalisasian hasil laut yang masih minim juga belum adanya aturan yang
lengkap terkait kelautan membuat negeri kita terlihat ‘bodoh’ dalam mengolah
kebermanfaatan hasil laut. Sebenarnya inilah yang seharusnya menjadi PR besar untuk negara kita,
membangkitkan budaya maritim kita
Walaupun dikenal dengan daerah kelautan, yang di mana hasil
ikannya-pun tentu beragam, masyarakat Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan
ikan. Kurangnya kegemaran mengkonsumsi ikan ini sendiri sedikit banyak telah
berpengaruh terhadap keterikatan kita akan hasil laut. Dan ini akan berdampak
pula terhadap sistem dan juga tata kelola kelautan, yang memungkinkan untuk
lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Budaya maritim bisa kita tingkatkan dengan diawali dari meja
makan, di mana ikan harus menjadi menu utama bangsa Indonesia. Gemar makan ikan
laut, juga akan mencerdaskan bangsa sebagaimana bangsa Jepang memiliki tradisi
kuat mengkonsumsi ikan. Rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30
kilogram per tahun, jumlah tersebut masih kalah dengan konsumsi ikan orang
Malaysia yang mencapai 37 kilogram per tahun. Dan jika dibandingkan dengan
Jepang, kita hanya separuh dari konsumsi mereka yang mencapai lebih dari 60
kilogram per tahun. Coba saja bayangkan, kalau konsumsi ikan saja masih rendah,
itu artinya tidak mengherankan jika penanganan illegal fishing tidak dianggap penting.
Jika konsumsi ikan orang Indonesia menyamai orang Jepang,
yang artinya dua kali lebih banyak kebutuhan ikan dari data sekarang, itu akan
mendorong pemerintah untuk serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi
ikan orang Indonesia terpenuhi. Dan tak dapat dipungkiri bahwa illegal fishing yang menjadi salah satu
sumber kerugian bangsa dapat lebih
diperhatikan dan tentu saja terkurangi atau bahkan tertiadakan.
Kerugian Indonesia terkait dengan illegal fishing diperkirakan mencapai triliunan rupiah per tahun.
Jumlah triliunan ini adalah angka yang sangat besar dan jumlah sebesar itu
sangat bisa dimanfaatkan untuk dialokasikan hal lain saja, seperti misalnya
untuk pendidikan ataupun kesehatan, daripada kita rugi sebanyak itu dengan
hanya tidak mau mengurus sistem kelautan. Jepang untuk mencari ikan saja sampai
ke kutub utara, dan segala jenis ikan pun diburu. Sementara Indonesia yang wilayah
kelautannya lebih luas dari Jepang, belum menganggap penting tata kelola satu
atap kelautan.
Oleh karena itu, memang perlu adanya sebuah kesadaran dari
masyarakat untuk dapat mengetahui kekayaan hasil laut kita ini. Pemerintah
mendatang dalam mewujudkan budaya maritim bisa dengan cara mendorong dunia
pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki program makan ikan laut.
Membentuk suatu budaya itu memang tidak bisa instan tetapi harus dididik,
diajari dan diedukasi. Ini hal yang sederhana tetapi akan mengubah cara pandang
bangsa Indonesia terhadap lautnya. Jika makan ikan laut menjadi tradisi,
kebutuhan makan ikan meningkat, illegal
fishing diperangi, pembangunan instruktur kelautan dan kekuatan keamanan
serta keselamatan laut dapat ditingkatkan.
Memang benar bahwasanya memerlukan waktu panjang untuk bisa
mengubah budaya “among tani” menjadi “dagang layar”. Namun setidaknya, bukankah
capaian besar itu bermulai dari langkah kecil? Mulailah dari diri kita,
mulailah gemar memakan ikan demi meningkatkannya budaya maritim secara optimal.